Sabtu, 21 Mei 2011

Balada Honda Tua


BALADA HONDA TUA
Ada kerinduan yang menyentak setiap melihat keluarga si merah melintas di depan rumah. Ada rasa getir yang merayapi ruang hati setiap mengenangkan saat terakhir bersamanya. Banyak cerita telah kami lalui bersama. Selama 24 tahun, dia begitu setia mendampingi dalam suka dan duka. Inilah kisah kami ………. Kisah perjalanan hidupku bersamanya.
Kenangan Masa kecil
Kisahku dengannya bermula dua puluh tujuh Tahun yang lalu. Awal tahun delapan puluh tepatnya. Ketika itu usiaku baru 11 tahun.
Suatu sore, kulihat ayahku pulang dengan sepeda motor. Wuiiiih serasa tak percaya melihatnya. Bagaimana tidak. Ketika itu, sepeda motor masih merupakan barang langka di desaku. Jumlah sepeda motor se kecamatanpun masih bisa dihitung dengan jari.
“ Maaaaak…….! Lihat, maaaak…! Ayah pulang bawa hondaaa!” teriakku girang memanggil-manggil ibuku. Oh ya.. Sekedar informasi, di daerahku ( Nanggroe Aceh Darussalam ) sepeda motor disebut dengan HONDA. Entah mengapa begitu, akupun tidak tahu pasti. Tapi, memang Sudah menjadi kebiasaan di sana, dalam menyebut nama benda yang banyak merknya, merk yang pertama dikenallah yang dipakai. Mungkin karena sepeda motor merk honda yang pertama dikenal di Aceh, maka nama itulah yang kemudian melekat di lidah ketika menyebut sepeda motor. Jadi jangan heran, kalau di Aceh kemudian ada Honda Yamaha. Honda Kawasaki, Honda suzuki, dan sebagainya.
Alamaaaaak…. Bagusnya sepeda motor itu. Warnanya merah menyala, ada sepasang kaca spion terpasang gagah di setangnya, mengingatkan aku pada tangan yang sedang menadah berdo`a. Di bagian samping terlihat gambar sayap dengan tulisan “Deluxe” yang sampai saat ini tak kuketahui maknanya. Sepeda motor itu memang bermerk Honda. Honda Type Super 70 tepatnya.
Emakku tak henti-hentinya menyungging senyum bangga. Bagaimana tidak bangga, ketika itu di kampungku baru ayahkulah yang punya sepeda motor. Tapi itu bukan berarti ayahku orang kaya. Sepeda motor itu pemberian pamanku yang telah menjadi pedagang sukses di Jakarta. Mungkin sebagai rasa terima kasih, karena ketika berangkat ke jakarta dulu, ayahkulah yang memngongkosinya. Termasuk merelakan sepetak sawah warisan kakek sebagai modal untuknya.
Ayahku adalah seorang guru Madrasah Ibtidaiyah. Dengan sepeda motor itu ayahku sering membawaku dan dua adik perempuanku berkeliling-keliling. Aku selalu merasa paling bahagia bila diajak naik honda. Aku sering merentangkan tangan dan memejamkan mata bergaya seperti burung terbang di sepanjang perjalanan.
Sejak kehadirannya, honda merah itu langsung menjadi primadona dalam keluargaku. Semua sayang padanya. Ayahku mencucinya hampir setiap hari, sehingga ia selalu kelihatan mengkilap. Aku sendiri memperlakukan dia seperti seorang sahabat. Bahkan ia sering kuajak bicara, meski ia tak mengerti maksudku. Karena warnanya yang merah menyala, maka kemudian Aku menamainya si merah.
Ada yang istimewa dari Si Merah. Ia benar – benar honda yang setia. tak pernah mogok di tengah jalan. Kalaupun sekali – kali bannya bocor pastilah tidak jauh dari tukang tambal ban.
Sahabat dalam suka dan duka.
Tahun 1989 merupakan tahun duka cita bagiku. Ayahku dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa. Ketika itu aku baru kelas 2 SMA. Tanpa Ayah…. Dunia terasa hampa. Tak ada lagi tempat bergantung. Aku sebagai anak laki-laki tertua. Harus mengambil perannya sebagai tulang punggung keluarga.
Si merah kini telah menjadi honda Tua. Banyak sepeda motor lain kemudian bermunculan. Tapi aku tak pernah lekang darinya. Dengan si merah aku berangkat ke sekolah ke kota Sigli yang letaknya 16 kilometer dari tempat tinggalku. Aku tak pernah gengsi mengenderainya. Toh, Ia masih bisa berlari dengan gagah. Bahan bakarnya irit sehingga aku bisa berhemat. Ia juga jarang rusak. Paling – paling platinanya kadang bermasalah. Tapi selalu bisa kuatasi sendiri. Suku cadangnya juga mudah didapat, dan harganya selalu terjangkau ukuran kantongku yang tipis.
Di sekolah, ketika itu memang banyak teman – temanku yang memiliki sepeda motor lebih bagus dari si merahku. yang kebanyakan juga bemerk honda. Tapi si merahku tetap saja menjadi primadona. Semua suka meminjamnya. Bahkan ialah yang paling banyak membantu kegiatanku di OSIS. Sehingga ada yang bertanya. Ini Honda milik OSIS ya?
Begitulah. Si merah senantiasa menjadi sahabatku dalam suka dan duka. Ia mengantarku kemana saja. Dan sore harinya ia membantuku mencari nafkah meringankan beban keluarga. Ya… aku mengojek dengannya. Berkat si merah, Aku dapat membantu biaya sekolah adik – adikku.
Selesai SMA aku terpaksa menganggur. Aku tak sanggup meneruskan kuliah karena tak ada biaya. Tapi aku tidak menyesali hal itu. Aku harus bekerja agar dua adik perempuanku dapat menyelesaikan sekolahnya. Lagi – lagi si merah yang menolongku. Bersamanya aku bekerja apa saja. Mulai mengojek, menjadi pengantar koran, dan apa saja yang menghasilkan uang. Disamping itu aku menyempatkan diri pula mengajar anak – anak mengaji di Taman Pengajian Al – Qur`an yang bernama TPA. Al – Ikhlas yang ada di desaku. Selain itu aku juga mulai aktif di beberapa kegiatan - kegiatan sosial. Semacam aktifis kecil – kecilan lah… nah, si merah lagi kan yang pegang peranan.
Penyelamat di masa sulit
Beberapa tahun kemudian Aku memberanikan diri untuk kuliah. Aku yakin selama ada si merah aku akan baik – baik saja. Aku memilih kuliah di sebuah fakultas swasta di Kota Sigli. Aku mengambil jurusan tarbiyah pendidikan Agama. Mengikuti jejak ayah untuk menjadi guru. Masa kuliah itu benar – benar masa paling sulit dalam hidupku. Aceh dilanda konflik yang berkepanjangan. Permusuhan antara GAM dan RI membuat hidup kami di Aceh begitu menderita.
Setiap hari ada razia. Sedikit mencurigakan, bisa saja pulang tanpa nyawa. Hal itu berlangsung selama bertahun – tahun. Tapi untunglah selama itu, tidak ada hal buruk yang terjadi padaku. Semua berkat si merah. Si merahku sudah dikenal hampir di seantero Kabupaten Pidie. Bertahun – tahun aku mengendarainya di sepanjang jalan itu membuat aku dan si merah di kenal akrab oleh seluruh pengguna jalan. Bahkan saat ada Sweeping. Polisi sering membiarkan aku lewat tanpa diperiksa sambil melempar senyum. Maka akupun aman – aman saja di jalan.
Puncak dari konflik adalah diberlakukannya status darurat militer di Aceh. Ketika itu perang antara GAM dan TNI terjadi hampir setiap hari. seruan mogok kerap terjadi. Kotaku menjadi seperti kota mati. Ada saat – saat Kenderaan dilarang melintas di jalan. Kalau memaksakan diri, resikonya…..Terbakar…… Tapi mujur bagiku. Karena si merahku hanya sebuah honda tua. Aku bebas kemana saja. Tak ada yang tertarik padanya. Lagi – lagi si merah menyumbangkan jasanya.
Hingga aku selesai kuliah. Si merahku masih baik – baik saja. Memang warnanya hampir menjadi abu-abu. Memang ia sudah terlihat tua dan lelah. Tapi ia tak pernah berhenti mendampingiku kemanapun aku pergi.
Aku kemudian mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sebagai guru honorer tentu saja penghasilanku sangat minim. Maka aku terpaksa mengajar di beberapa sekolah lain. Ya tentu saja semua itu dapat terjadi karena adanya si merah. Ia dengan setia mengantarku pergi mengajar, membantuku untuk tetap aktif di kegitan – kegiatan sosial. Dan diwaktu senggang kadang – kadang juga kembali mengojek.
Bebarapa kali ada orang yang menawar untuk membeli si merah. Memang, honda type super 70 tak pernah usang di pasaran. Selalu saja ada yang mencarinya. Apalagi bagi orang yang punya kebun di pegunungan. Tapi aku tak pernah mau melepasnya. Setelah sekian lama aku bersamanya. Bagiku ia bukan hanya sebuah sepeda motor. Tapi ia adalah anggota keluarga. Bagian dari hidup. Aku ingin mempertahankannya sampai kapanpun.
Perpisahan
Sebenarnya aku tak ingin menceritakan bagian ini. Terlalu sedih bagiku untuk mengenangnya. Tapi biarlah. Agar cerita ini bisa tersaji dengan lengkap. Toh, hidup memang tak selamanya indah. Tak selalu sesuai dengan yang kita inginkan.
Bulan Desember 2006. Taman Pengajian Al-Qur`an tempat aku mengajar mendapat undangan untuk mengikuti FASI (Festifal Anak Saleh Indonesia) Tingkat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Acara tersebut merupakan ajang adu kreatifitas dan kompotensi bagi anak – anak TPA di seluruh Indonesia yang diadakan setiap Dua tahun sekali.
Acara FASI Tingkat Provinsi NAD kali itu diadakan di Banda Aceh, yang kegiatannya dipusatkan di Taman Ratu Safiatuddin. Berhubung murid – muridku adalah juara di tingkat kabupaten untuk cabang lomba Sosiodrama Islami, Puisitasi Al-Qur`an, Cerdas Cermat dan English Conversation, maka kamilah yang terpilih mewakili kabupaten Pidie untuk mengikuti lomba ke Banda Aceh.
Yang ditugaskan berangkat hanya para pelatih dan peserta lomba. Berhubung aku termasuk diantara yang melatih keempat cabang tersebut, maka akupun harus berangkat ke Banda Aceh. Acara itu sendiri rencananya akan berlangsung selama 5 hari. Dari tanggal 23 hingga 27 Desember 2004.
Tanggal 22 Desember kamipun berangkat ke Banda Aceh. Anak – anak dan beberapa temanku berangkat dengan bus yang disediakan panitia. Sedangkan aku berangkat sendiri dengan membawa si Merah, Honda super 70-ku. Aku memang harus membawanya, karena selama 5 hari disana nanti aku akan sangat membutuhkannya.
Di Banda Aceh, si merah betul – betul sangat berguna. Kebetulan panitia menyediakan tempat menginap di sebuah rumah warga yang agak jauh dari lokasi lomba, yaitu di kawasan Lingke. Jadi aku bisa bolak-balik dengan leluasa dengan, bantuan si merah tentunya. Semua lancar – lancar saja ketika itu. Hingga tibalah hari yang tragis itu.
hari itu 26 desember 2004. hari yang tak terlupakan seumur hidup. pagi begitu cerah. Anak – anak sedang duduk-duduk di teras menunggu datangnya sarapan pagi. Sebagian yang lain yang hendak tampil pagi itu sedang mempersiapkan keperluan masing-masing. Berhubung ada waktu senggang, aku memamfaatkannya untuk mengelap si merah.
Sambil bernyanyi – nyanyi kecil aku membersihkan bagian – bagian yang terlihat berdebu.
“ Duuuuh…… segitu sayangnya ustadz sama si merah….!” Canda Nita, salah seorang muridku.
“ Oh iya dong! Si merah ini kan belahan jiwa ustadz” jawabku sambil tersenyum, tanpa melihat ke arah Nita.
Tiba- tiba si merah terdorong ke depan, “ Eeeeh… jangan dorong - dorong, Nak!” kataku, mengira Nita yang mendorongnya.
“ Ustadz….. gempa….!” Terdengar Nita berkata dengan gemetar.
Aku terkesiap, dan mendongakkan kepala. Ternyata benar, pohon palem di depanku terlihat bergoyang. Nita berlari ke arahku. Aku memeluknya agar ia tidak panik. Pot – pot bunga yang digantung di teras rumah terlihat berayun-ayun. Inna lillahi… pertanda apa ini ya Allah? Batinku dalam hati.
Untunglah gempa itu tidak berlangsung lama. Sesaat kemudian, suasana kembali seperti biasa. Aku menarik nafas lega.
“ Sudah, Nita! Tidak apa – apa!” kataku pada Nita kemudian. Nitapun terlihat lega. Ia kemudian kembali ke teras.
Aku lalu melanjutkan pekerjaanku. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kota Banda Aceh memang kerap diguncang gempa kecil akhir – akhir ini. Namun ternyata dugaanku salah. Sesaat kemudian bumi kembali bergoyang, dan kali ini lebih kuat dari sebelumnya dan semakin lama semakin kuat. Semua yang berada di dalam rumah berhamburan keluar. Anak – anak menjerit ketakutan. Aku segera merengkuh mereka dan membimbingnya ke halaman. Teman – temanku sesama ustadz juga berbuat hal yang sama.
“ Bagaimana ini Har? “ Tanya Kamaruddin panik.
“ kita ke luar saja ke jalan .... !” jawabku sambil memapah anak – anak yang pucat ketakutan.
Kamipun beranjak ke jalan di depan rumah. Jalan itu memang bukan jalan umum sehingga tidak ada kenderaan yang lalu lalang. Langkah kaki terasa berat karena sekujur tubuh menjadi gemetaran. Rupanya getaran gempa makin lama makin bertambah kencang. Kami tak bisa berdiri karena bumi menjadi oleng ke kanan dan ke kiri.
Suasana benar benar panik ” ya Allah ada apa ini?... apa salah kami?” hanya itu yang bisa terucap ditengah teriakan orang lain yang juga pasrah dan panik. Semua yang ada di jalan itu tak berhenti menyebutkan Asma Allah. Pada saat itu aku teringat pada si Merah. Kulihat ia telah terjerembab ke tanah dan terseret – seret ke kanan dan ke kiri.
Belum sempat aku berpikir, tiba – tiba “ Bruaaaak.... gedubhuuuuuuuum .....” terdengar suara yang cukup keras. Di belakangku
“ Ustad….. suara apa itu ? “ jerit Rahmi sambil menangis
Aku menoleh ke belakang, ternyata Gedung di belakang kami roboh , menerbangkan debu yang mengepul tinggi. Masya Allah ….. ampuni dosa kami ya Allah…. Jeritku gemetaran. Aku membenamkan kepala anak-anak ke pelukanku agar mereka tidak menyaksikan peristiwa itu.
Gempa masih terus berlanjut, kami semua sudah pasrah hingga goyangan dan hentakan gempa menggoncang kekiri, kekanan, kebawah… sulit bagiku mengingatnya kembali….
Perlahan dan lama goyangan gempa itu mulai mereda, hingga akhirnya berhenti sama sekali. dengan saling berpegangan kami mencoba bangun. Semua terlihat pucat, tak saling bicara. Semoga ini sudah benar-benar berakhir, begitu harapan kami dalam hati.
“ Ustadz.... Ayo kita pulaaang! “ kata Rijal sesunggukan.
“ Ya... sabarlah, sebentar lagi kita pulang..... Insya Allah kita semua akan pulang!” jawabku menenangkannya.
Anak-anak kembali menangis sesunggukan. Aku dan teman – teman berusaha menenangkan mereka dan membawa mereka duduk ke teras. “ Sudah berakhir.... tidak apa – apa ... tenanglah” bujukku.
Aku membangunkan si merah yang tergeletak di halaman. Minyaknya tumpah membasahi rumput. Lampu depannya pecah terkena pot bunga. Aku memarkirnya kembali di tempat semula.
“ Ya Allaaah........Apa ituuuuuu......!” tiba – tiba kudengar Ummul menjerit ketakutan.
Kami semua serentak menoleh ke belakang, Masya Allah..... disana terlihat pemandangan yang sangat mengerikan. Ribuan burung – burung laut yang entah dari mana datangnya terlihat terbang rendah sambil memekik – mekik seperti begitu ketakutan. Dan dibelakangnya ..... dan dibelakangnya...... Masya Allah terlihat gelombang hitam setinggi pucuk pohon kelapa mulai menghantam segala yang ada.
“ Lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!” jeritku sebisanya......hanya itu yang keluar dari mulutku. Dan jerit pilu ribuan manusia kemudian terdengar memenuhi cakrawala. Semua menjadi kucar – kacir tak terarah. kucoba menghidupkan si merah, tapi karena minyaknya kering ia tidak mau hidup. Tanpa pikir panjang akupun kemudian berlari meninggalkannya begitu saja. Masing-masing kami memegang tangan beberapa santri . “ Terus lari.... terus lari.... pegang ustadz, ” teriakku...
Untunglah di jalan ada sebuah mobil pick up yang didalamnya telah penuh oleh manusia. Tanpa permisi aku melemparkan anak- anak ke dalamnya. “ Tolong mereka ......tolong mereka....” teriakku tanpa memperdulikan anak – anak yang memanggil – manggil namaku memintaku untuk ikut naik. Tapi itu sudah tak mungkin. Pick up itu telah penuh sesak.
Aku terus berlari. Pick Up itu melaju kencang. Meninggalkan aku dan ribuan manusia lainnya yang mencoba untuk terus berlari. Tapi kami memang kurang beruntung... gelombang itu mengejar dengan begitu cepat dan yang kemudian kuingat..... gelombang itu menghantam dan menyeret kami dengan kejam. Aku tergulung ombak pekat itu dan terseret – seret membentur segala yang ada di sekitar itu. Begitulah ... sulit bagiku mengingatnya kembali. Yang sempat kuingat kemudian aku berhasil memegang tiang listrik beberapa saat. Lalu tiang listrik itu tumbang sehingga aku terlempar ke atap rumah. Di atap rumah aku tersangkut sebentar, lalu rumah itupun roboh .............. dan akupun kembali terseret arus. Lalu aku tidak ingat apa – apa lagi.
Ketika membuka mata, kudapati diriku berada diantara ribuan mayat yang bergelimpangan saling tindih. Sekujur tubuhku terluka parah. Aku kemudian ditolong oleh para relawan dari PMI. Aku sedikit lega karena kemudian kuketahui anak- anak dan teman-temanku semuanya selamat, meski dengan tubuh luka - luka.
Setelah beberapa hari aku kembali ke tempat penginapan kami. Aku berharap si merah masih disana. Tapi pencarianku sia-sia. Si merahku telah terseret entah kemana.
Hari – hari tanpa si merah
Kini si merah sudah tak lagi bersamaku. Sempit dunia terasa. Tanpanya aku seperti kehilangan sepasang kaki. Kini aku hanya bisa mengajar pada sebuah Madrasah Ibtidaiyah yang letaknya tidak jauh dari rumahku, yang bisa kujangkau dengan berjalan kaki. Kegiatan sosialku menjadi berkurang. Dan kegiatan sambilan sebagai tukang ojekpun, otomatis berhenti total.
Sekali – sekali ia masih datang dalam mimpiku. Kadang ia terlihat begitu mengkilap sepeti masih baru. Kadang dalam mimpiku itu, aku melihatnya terparkir di depan rumah. Entah mengapa sampai saat ini aku masih merindukannya. Si merah memang hanya sebuah honda tua. Tapi bagiku, ia bukanlah hanya sekedar sebuah sepeda motor. Dia adalah anggota keluarga. Dia bagian dari hidupku. Sampai kapanpun ia tak akan pernah kulupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar